BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bentuk – bentuk kesusastraan Bali
pada dasarnya merupakan pola – pola perwajahan dari kesusastraan Bali.
Kesusastraan Bali merupakan himpunan karya – karya fiksi yang berbahasa Bali
dan Jawa Kuna (Kawi ). Karya –karya fiksi tersebut tentunya mengandung unsur
imajinatif (kakawian) yang diciptakan oleh kretifitas (awi – awian ) pengarang
/ pujangga Bali maupun Jawa Kuna. Kesusastraan Bali memiliki jenis yang beragam
dan selanjutnya dapat diklasifikasikan menjadi kakawin, parwa / kanda, kidung,
babad, geguritan, peparikan, wewangsalan, satua, cerpen, novel, dan puisi Bali
modern.
Kakawin merupakan salah satu karya
sastra Bali purwa (yang berbahasa ) Jawa Kuna yang berbentuk puisi dan diikat
oleh konvensi guru laghu. Guru merupakan suara panjang ( dirgha ), pelan ,
intonasi agak berat dan beralun. Laghu merupakan suara pendek, agak cepat,
intonasi ringan dan tidak terlalu beralun. Kakawin telah diciptakan sekitar
abad ke-IX ketika peradaban bahasa dan sastra Jawa kuna masih berlangsung di
Jawa Tengah. Kakawin terus berkembang mengikuti perkembangan politik dan
kekuasaan di Jawa.
Kedekatan hubungan politik dan
kekuasaan antara Jawa dengan Bali menjadi jendela bagi menyebarnya kakawin ke
Bali, seperti kakawin Ramayana, Arjuna Wiwaha, Bharatayudha, Sutasoma, dan
Siwaratiri Kalpha, semuanya mendapat tempat yang terhormat pada masyarakat
Bali.
Pada zaman kerajaan Mataram Hindu
yang diperintah oleh Dyah Balitung sekitar 820 – 832 saka, terdapat sebuah
kitab Ramayana berbentuk kakawin berbahasa Jawa Kuna. Menurut tradisi Bali
kakawin Ramayana merupakan karya sastra yang dikarang oleh Mpu Yogiswara. Namun
pernyataan itu langsung dibantah oleh Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka, karena menurut beliau Mpu
Yogiswara merupakan baris terakhir kakawin Ramayana versi jawa, namun itu bukan
merupakan identitas penulis. Kitab ini sudah diteliti oleh para ahli
Belanda seperti H. Kern yang telah mencetak dengan huruf Jawa pada tahun 1950,
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda ( hanya 6 bagian ) dan selanjutnya
dilakukan oleh H.H. Juynboll.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah
isi singkat kakawin Ramayana ?
1.2.1 Bagaimanakah transeliterasi dari aksara Bali, menjadi Bahasa Kawi
Latin, Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia ?
1.2.3 Bagaimanakah kajian bahasa dan nilai – nilai yang terkandung di
dalam kakawin Ramayana Sargah I:4 ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui secara umum sinopsis atau ringkasan cerita
kakawin Ramayana.
1.3.2 Untuk melatih kemampuan pentranseliterasian dari aksara Bali
menjadi Bahasa Kawi Latin, Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia.
1.3.3 Untuk mengetahui nilai – nilai yang terkandung dalam kakawin
Ramayana Sargah I : 4, serta aplikasinya dalam kehidupan sehari – hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sinopsis Kakawin Ramayana
2.1.1 Asal –
Usul Kakawin Ramayana
Kakawin Ramayana adalah kakawin (syair) berisi
cerita Ramayana. Ditulis dalam
bentuk tembang berbahasa Jawa
Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa
pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun
820-832 Saka atau sekitar
tahun 870 M.
Menurut tradisi Bali, Kakawin Ramayana ini
dipercaya ditulis oleh seorang bernama Yogiswara. Hal ini ditolak oleh Prof. Dr. R.M.Ng. Purbatjaraka. Menurutnya,
Yogiswara memang tercantum pada baris terakhir Ramayana versi Jawa ini, tetapi
hal itu bukan merupakan identitas penulis
Syair dalam
bentuk kakawin ini adalah salah satu dari banyak versi mengenai kisah sang Rama dan Sita, wiracarita
agung yang versi awalnya digubah di India oleh Walmiki dalam bahasa
Sanskerta. Beberapa peneliti mengungkapkan, bahwa Kakawin Ramayana
versi Jawa ini ternyata tidak sepenuhnya mengacu langsung kepada Ramayana versi
Walmiki, akan tetapi
mengacu ini merupakan transformasi dari kitab Rawanawadha yang ditulis oleh pujangga India kuno
bernama Bhattikawya. Hal ini disimpulkan oleh Manomohan Ghosh, seorang
peneliti sastra dari India yang menemukan beberapa bait Ramayana Jawa yang sama
dengan bait bait dalam Rawanawadha.
Dari segi alur
cerita, Kekawin Ramayana juga memiliki perbedaan dengan Ramayana Walmiki. Pada
akhir cerita, sekembalinya Rama dan Sita ke Ayodya, mereka
berpisah kembali, jadi Rama dna Sita tidak hidup bersama, demikian versi
Walmiki. Sedang dalam versi Jawa, Rama dan Sita hidup bersama di Ayodya.
2.1.2 Sinopsis
Kakawin Ramayana
Prabu Dasaratha
dari negeri Ayodya memiliki empat putra; Rama, Bharata, Laksmana dan Satrughna. Maka suatu
hari seorang resi bernama Wiswamitra memohon
bantuan Sri Paduka Dasaratha untuk menolongnya membebaskan pertapaannya dari
serangan para raksasa. Maka Rama dan
Laksamana berangkat.
Di pertapaan,
Rama dan Laksmana menghabisi semua raksasa dan kemudian mereka menuju negeri
Mithila di mana diadakan sebuah sayembara. Siapa menang
dapat mendapat putri raja bernama Sita. Para peserta disuruh merentangkan busur
panah yang menyertai kelahiran Sita. Tak seorangpun berhasil kecuali Rama, maka
mereka pun menikah dan lalu kembali ke Ayodya.
Di Ayodya, Rama suatu hari akan dipersiapkan
dinobatkan sebagai raja, karena ia adalah putra sulung. Namun Kaikeyi, salah
seorang istri raja Dasaratha yang bukan ibu Rama berakta bahwa sri baginda
pernah berjanji bahwa Bharata lah yang akan menjadi raja. Maka dengan berat
hati raja Dasaratha mengabulkannya karena memang pernah berjanji demikian.
Kemudian Rama, Sita dan Laksmana pergi meninggalkan istana. Selang beberapa
lama, raja Dasaratha meninggal dunia dan Bharata mencari mereka. Ia merasa
tidak pantas menjadi raja dan meminta Rama untuk kembali. Tetapi Rama menolak
dan memberikan sandalnya (bahasa Sanskerta: pâduka)
kepada Bharata sebagai lambang kekuasaannya.
Maka Rama, Sita
dan Laksmana berada di hutan Dandaka. Di sana ada seorang raksasi bernama
Surpanakha yang jatuh cinta kepada Laksmana dan ia menyamar menjadi wanita
cantik. Tetapi Laksmana tak berhasil dibujuknya dan akhirnya ujung hidungnya
terpotong. Surpanakha marah dan mengadu kepada kakaknya sang Rahwana (Rawana)
dan membujuknya untuk menculik Sita dan memperistrinya. Akhirnya Rahwana
menyuruh Marica, seorang raksasa untuk menculik Sita. Lalu Marica bersiasat dan
menyamar menjadi seekor kijang emas yang elok. Sita tertarik dan meminta
suaminya untuk menangkapnya. Rama meninggalkan Sita bersama Laksmana dan pergi
mengejar si kijang emas. Si kijang emas sangat gesit dan tak bisa ditangkap,
akhirnya Sri Rama kesal dan memanahnya. Si kijang emas menjerit kesakitan
berubah kembali menjadi seorang raksasa dan mati. Sita yang berada di kejauhan
mengira yang menjerit adalah Rama dan menyuruh Laksamana mencarinya. Laksmana
menolak tetapi akhirnya mau setelah diperolok-olok dan dituduh Sita bahwa ia
ingin memilikinya. Akhirnya Sita ditinggal sendirian dan bisa diculik oleh
Rahwana.
Teriakan Sita
terdengar oleh burung Jatayu yang pernah
berkawan dengan prabu Dasaratha dan ia berusaha menolong Sita. Tetapi Rahwana
lebih kuat dan bisa mengalahkan Jatayu. Jatayu yang sekarat masih bisa melapor
kepada Rama dan Laksmana bahwa Sita dibawa ke Lengka, kerajaan Rahwana.
Kemudian Rama
dan Laksmana mencari kerajaan ini. Di suatu daerah mereka berjumpa dengan
kera-kera dan seorang raja kera bernama Subali yang menculik istri kakaknya.
Akhirnya Bali bisa dibunuh dan istrinya dikembalikan ke Sugriwa dan Sugriwa
bersedia membantu Rama. Akhirnya dengan pertolongan bala tentara kera yang
dipimpin Hanuman, mereka
berhasil membunuh Rahwana dan membebaskan Sita. Sita lalu diboyong kembali ke
Ayodya dan Rama dinobatkan menjadi raja.
2.2 Transliterasi Kakawin Ramayana Sargah I : 4
Transliterasi
Kakawin Ramayana merupakan proses pengalihbahasakan dan alih aksarakan dari
aksara Bali menjadi Bahasa Kawi Latin, Bahasa Bali, dan Bahasa Indonesia tanpa
mengubah ejaan yang ada. Di bawah ini akan disajikan pengalihaksaraan dan
pengalihbahasaan Kakawin Ramayana Sargah I : 4.
Kakawin Ramayana Sargah I : 4
Rÿ Gÿ dùùùù mu su ; m p
Ï o,
ri h
tø y
eTÿ \áÛ Zÿ t nß eDÿ; ri \ w k/,
e
y k t n À n ri si r,
pÉ
wù r wi hø k nŠie r* ni tø>.
2.2.1 Transliterasi dari Aksara Bali menjadi
Bahasa Kawi Latin
Rÿ Gÿ dùùùù mu su ; m p
Ï o,
Ràgàdi musuh maparö,
ri h
tø y
eTÿ \áÛ Zÿ t nß eDÿ; ri \ w k/,
ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak,
e
y k t n À n ri si r,
yeka tan hana ri sira,
pÉ
wù r wi hø k nŠie r* nùti.
prawìra wihikan sireng nìti
2.2.2 Transliterasi dari Bahasa Kawi Latin
menjadi Bahasa Bali
Ràgàdi
musuh maparö,
Smaradudu wantah musuh sane pinih tampek,
ri hati ya tonggwanya tan madoh ring
awak,
ring manah genahnyane,
nenteh doh saking angga,
yeka tan hana ri sira,
Punika nenten wenten ring anggan ida,
prawìra wihikan sireng nìti
Prawira , kapradnyanan ida ring tataning negara.
2.2.3 Transliterasi dari Bahasa Bali menjadi
Bahasa Indonesia
Smaradudu
wantah musuh sane pinih tampek,
Hawa nafsu adalah musuh
yang terdekat.
ring
manah genahnyane, nenteh doh saking angga,
Di dalam hatilah tempatnya, tidak jauh dari badan sendiri,
Punika
nenten wenten ring anggan ida,
Itu semua tidak ada dalam diri beliau,
Prawira , kapradnyanan ida ring
tataning negara.
Kepahlawanan, dan pandai dalam ilmu politik
serta kenegaraan.
2.2.4 Transliterasi Aksara Bali, Bahasa Kawi
Latin, Bahasa Bali, dan Bahasa Indonesia Kakawin Ramayana Sargah I : 4
Aksara
Bali
|
Rÿ Gÿ dùùùù mu su ; m p
Ï o,
|
Bahasa
Kawi
Latin
|
Ràgàdi musuh maparö,
|
Bahasa
Bali
|
Smaradudu wantah musuh sane pinih tampek,
|
Bahasa
Indonesia
|
Hawa nafsu
adalah musuh yang terdekat.
|
Aksara
Bali
|
ri h tø y
eTÿ \áÛ Zÿ t nß eDÿ; ri \ w k/,
|
Bahasa
Kawi
Latin
|
ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak,
|
Bahasa
Bali
|
ring manah
genahnyane, nenteh doh saking angga,
|
Bahasa
Indonesia
|
Di dalam
hatilah tempatnya, tidak jauh dari badan sendiri,
|
Aksara
Bali
|
e y k t n À n ri si
r,
|
Bahasa
Kawi
Latin
|
yeka tan hana ri sira,
|
Bahasa
Bali
|
Punika nenten wenten ring anggan ida,
|
Bahasa
Indonesia
|
Itu semua tidak ada dalam diri beliau,
|
Aksara
Bali
|
pÉ wù r wi hø k nŠie r* nùti.
|
Bahasa
Kawi
Latin
|
prawìra wihikan sireng nìti
|
Bahasa
Bali
|
Prawira , kapradnyanan ida ring tataning negara.
|
Bahasa
Indonesia
|
Kepahlawanan, dan pandai dalam ilmu politik serta
kenegaraan
|
2.3 Kajian Nilai dalam Kakawin Ramayana Sargah
I : 4
Makna kesusastraan Bali
dimaksudkan sebagai muatan, kandungan atau dalam ilmu sastra diistilahkan
dengan "nilai" dalam kesusastraan Bali. Terkait dengan hal itu, maka
nilai - nilai pada kesusastraan Bali merupakan pandangan - pandangan masyarakat
Bali yang tercermin dalam karya - karya sastra Bali. Pandangan tersebut
berkenaan dengan hal - hal yang dianggap , "baik, pantas, atau sesuai
" bagi ukuran normatif masyarakat Bali. Pandangan - pandangan tersebut ditata
sedemikian rupa oleh pengarang (sastrawan ; pujangga ) dengan kepiawaian yang
dimiliki. Hal itulah selanjutnya ditangkap oleh pembaca sebagai suatu nilai.
Dengan demikian, maka nilai - nilai pada kesusastraan Bali pada dasarnya
seluruh aspek kehidupan.
Dalam Kakawin Ramayana mengandung
banyak nilai - nilai kehidupan. Pada sargah I : 4 Kakawin Ramayana juga banyak
mengandung nilai – nilai kehidupan antara lain adalah nilai religius
(keagamaan) , nilai sosial.
2.3.1 Nilai Religius ( keagamaan ) dalam Kakawin
Ramayana Sargah I : 4
Nilai religius adalah nilai keagamaan
atau keyakinan yang terkandung di dalam Kakawin Ramayana Sargah I : 4. Dalam
Kakawin Ramayana Sargah I : 4 mengandung nilai keagamaan yaitu Sad Ripu, yang
merupakan salah satu ajaran dalam agama Hindu. Sad Ripu, berasal dari 2 kata
yaitu Sad yang berarti enam (6) dan Ripu artinya musuh. Jadi Sad Ripu adalah 6
musuh yang ada dalam diri manusia. Keenam musuh ini berada dalam diri manusia
dan tidak jauh dari raga manusia, seperti yang tertuang dalam Kakawin Ramayana
Sargah I : 4,
Ràgàdi
musuh maparö, ri hati ya tonggwanya tan madoh ring awak.
Sebagai
manusia tidak seharusnya jauh – jauh mencari musuh dan menganggap orang lain
adalah musuh. Dalam diri setiap orangpun terdapat enam musuh yang disebut
dengan Sad Ripu. Bagian – bagian dari Sad Ripu adalah Kama, Lobha, Krodha, Mada,
Moha, Matsarya. Keenam musuh ini ada di dalam diri setiap manusia. Dapat kita
lihat dalam kehidupan saat ini, keinginan , ketidakpuasan, kemabukan,
kebingungan, dan iri hati adalah penyakit masyrakat. Keinginan (Kama) memang
dibutuhkan oleh setiap manusia, namun apabila keinginan yang tidak dapat
dikendalikan akan menjadi musuh bagi manusia. Keinginan yang masih belum dapat
dikendalikan akan menyebabkan kelobaan (Lobha), yaitu tidak puas akan sesuatu
dan menginginkan sesuatu lainnya.
Apabila
seseorang dikuasi oleh kelobaan ,maka ia akan diliputi oleh kemarahan (krodha).
Kemarahan merupakan musuh yang terbesar dalam diri manusia, karena akan
menyebabkan tekanan fisik maupun mental. Orang yang marah adalah orang yang
jauh dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena tidak dapat menahan diri atau
mengendalikan diri. Apabila sudah demikian, maka ia akan diliputi kemabukan
(Mada). Kemabukan disini tidak hanya disebabkan oleh minuman keras, pada zaman
seperti saat ini kemabukan banyak disebabkan oleh, harta, kekuasaan serta
kepuasan. Seseorang yang sudah mabuk maka akan mengalami kebingungan (Moha) .
Tidak dapat membedakan yang baik atau buruk, salah atau benar. Kebingungan akan
menyebabkan orang menjadi iri hati (Matsarya) dengan apapun yang dilakukan
orang lain, akibat dia tidak dapat membedakan baik, buruk, benar ataupun salah.
Kakawin Ramayana sudah menjelaskan
dengan jelas bahwa keenam musuh ini berada tidak jauh dari diri kita. Sad Ripu
tidak harus dimusnahkan, namun hanya harus dikendalikan sehingga akan
memberikan dampak positif bagi diri dan sekitar kita. Hal yang dapat dilakukan
untuk mengendalikan Sad Ripu adalah menjalankan Tri Kaya Parisudha, sehingga
segala pikiran, tindakan dan perkataan yang muncul akan baik atau positif.
2.3.2 Nilai Sosial dalam Kakawin Ramayana Sargah I :
4
Nilai sosial adalah nilai
yang berkenaan dengan realitas maupun permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat. Dalam bait inipun juga mengandung nilai sosial , dimana kembali
dengan musuh dalam diri yaitu Sad ripu yang menjadi penyakit masyarakat zaman
sekarang.
Seperti yang kita ketahui, kemajuan
tekhnologi serta pendidikan banyak menuntut masyarakat berperilaku konsumtif.
Contohnya tidak jauh dari keseharian kita yaitu penggunaan HP Black Berry. Indonesia menjadi
negara terbesar di Asia yang penduduknya menggunakan Black Berry. Hal ini
disebabkan oleh keinginan masyarakat akan barang kebutuhan sekunder sangat
tinggi dan tidak dapat dikendalikan. Dalam Sad Ripu , hal ini termasuk dalam
Kama atau keinginan.
Bagian kedua adalah Lobha ( rakus ),
rakus tidak hanya diartikan rakus akan makanan. Saat ini rakus diaartikan
menjadi rakus akan harta, kekuasaan. Contohnya adalah para pejabat saat ini,
belum merasa puas dengan kedudukan serta pendapatan yang mereka peroleh,
sehingga mereka memutuskan untuk bertindak melakukan korupsi. Semua ini
diakibatkan oleh kerakusan seseorang, serta tidak puas dengan apa yang telah
dimiliki.
Bagaian ketiga adalah krodha (
kemarahan), orang yang telah dikuasi oleh kemarahan segala tindakan, pikiran
dan perkataannya sudah tidak dapat dikendalikan. Contohnya adalah aksi anarkis
kelompok tertentu, hal ini akibat mereka telah dikuasai oleh krodha. Akibatnya
timbul perkataan, tindakan dan pemikiran yang buruk.
Bagian keempat adalah Mada ( Kemabukan
), mabuk tidak hanya disebbakan oleh minuman keras. Mabuk juga dapat disebabkan
oleh harta serta kedudukan. Apabila seseorang sudah mabuk, maka ia akan
kehilangan kesadaran serta akal sehatnya dalam berfikir. Begitu juga mereka
yang mabuk akan kedudukan serta harta, maka akan menjadi sombong,
menyalahgunakan harta dan kedudukan itu untuk hal yang negatif. Hal ini sudah
banyak terjadi di kalangan masyarakat, baik dari pemerintahan , pegawai serta
masyrakat biasapun juga bisa.
Bagian kelima adalah Moha (
Kebingungan ), seseorang yang mabuk maka akan mengalami kebingungan. Tidak bisa
membedakan perbuatan yang baik dan buruk, benar maupun salah. Contohnya , orang
yang mabuk akan kedudukan / jabatan. Akibat kemabukannya itu dia menjadi
bingung, serta tidak tahu membedakan hal yang baik dan buruk. Sehingga para
pemegang jabatan yang mabuk akan kekuasaan , mereka akan menjadi otoriter,
tidak adil, bahkan yang terburuk adalah melakukan korupsi. Seperti yang kita
ketahui korupsi adalah masalah terbesar dalam negara kita saat ini.
Bagian keenam adalah matsarya ( iri
hati ). Iri hati merupakan penyakit manusia yang banyak menjerumuskan ke dalam
lingkaran kehancuran. Contohnya dalam kehidupan sehari – hari dan tidak jauh
dari kehidupan kita adalah ketika pemilihan kepala desa. Ketika rasa iri hati itu
muncul saat tidak terpilih, maka ia akan menganggap apapun yang dilakukan oleh
kades terpilih tidak akan benar dan lain sebagainya. Masih banyak lagi contoh
dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
·
Kakawin Ramayana adalah kakawin (syair) berisi
cerita Ramayana. Ditulis dalam
bentuk tembang berbahasa Jawa
Kuna, diduga dibuat di Mataram Hindu pada masa
pemerinthan Dyah Balitung sekitar tahun
820-832 Saka atau sekitar
tahun 870 M.
·
Transliterasi Kakawin
Ramayana merupakan proses pengalihbahasakan dan alih aksarakan dari aksara Bali
menjadi Bahasa Kawi Latin, Bahasa Bali, dan Bahasa Indonesia tanpa mengubah
ejaan yang ada. Di bawah ini akan disajikan pengalihaksaraan dan
pengalihbahasaan Kakawin Ramayana Sargah I : 4.
·
Dalam Kakawin Ramayana
Sargah I : 4, mengandung banyak nilai – nilai kehidupan. Nilai kehidupan yang
terkandung antara lain adalah nilai keagamaan serta nilai sosial.
DAFTAR PUSTAKA
……….., 2010. Sejarah Kajian Sastra
Bali. Denpasar. ……….
Geria, A.A. Gde Alit. 2011. Bahasa Jawa Kuna : Selayang Pandang.
Denpasar : …….. .
Suwija, Dr. I Nyoman. 2011. Ngiring Nulis Bali. Denpasar : Wineka
Media.
Tinggen , I Nengah. 1993. Celah – Celah Kunci Pasang Aksara Bali.
Singaraja : Toko Buku Indra Jaya.
Tim Peneliti Naskah Ejaan Bahasa
Bali Huruf Bali dan Huruf Latin. 1978. Ejaan
Bahasa Daerah Bali Yang Disempurnakan. Denpasar : Toko Buku Indra Jaya.
Widia, I Gusti Made. 1979. Kakawin Ramayana. Singaraja : Indra
Jaya.
Zoutmulder.P.J. 1983. Sastra Jawa
Kuna Selayang Pandang. Jakarta : Djambatan.
Zoutmulder,P.J, dkk. 1995. Kamus
Jawa Kuna- Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.